(Sebuah Refleksi Tentang Hakikat Tirakat)
Penulis: Hilal Khoeruzzaman
Ada saja santri yang ketika diberikan ijazah tirakat oleh gurunya mereka sangat bersemangat dikarenakan konon katanya tirakat itu bisa mendatangkan kesaktian. Akan tetapi dalam perjalanannya, tidak sedikit santri yang tirakatnya menjadi mogok gara-gara tirakat yang mereka jalani tidak kunjung mendatangkan kesaktian. Merasa begitu-begitu saja dan tidak ada perubahan. Pada akhirnya si santri pun mokat, mogok tirakat.
Lalu sebenarnya siapa yang salah? Siapa yang harus disalahkan? Angin? Eitss angin tidak punya KTP. Baiklah, sebelum membahas tentang tutorial bertirakat dengan baik dan benar, kita mesti mengetahui terlebih dahulu definisi tirakat itu sendiri.
Kata “tirakat” merupakan kata yang berasal dari kata serapan Bahasa Arab, dalam hal ini terdapat dua pendapat. Yang pertama, tirakat yang berasal dari kata bahasa arab طرﯾﻘﺔ yang memiliki arti jalan yang ditempuh. Dan yang kedua, tirakat yang berasal dari kata Bahasa Arab تَرَكَ – يَتْرُك yang memiliki arti meninggalkan, menjauhi atau menghilangkan. Jika diambil dari dua asal kata tersebut kita dapat menyimpulkan secara umum bahwa tirakat memiliki arti jalan yang ditempuh dalam proses meninggalkan hawa nafsu duniawi.
Dilansir dari NU Online Secara terminologis, KH Muhammad Sholeh bin Umar (KH. Sholeh Darat) menjelaskan dalam kitabnya Minhajul Atqiya’ fi Syarhi Ma’rifatil Adzkiya’ ila Thariqatil Auliya’, thariqah itu sebuah pelaksanaan ibadah dengan semangat keseriusan, tidak hanya memilih ibadah yang ringan saja, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi laranganNya, juga menjaga dari sesuatu yang haram dengan tujuan riyadlah (beribadah dengan penuh khusyu’)
Loh, hubungan tirakat dengan kesaktiannya mana? Kok nggak ada?
Jadi begini, tujuan dari tirakat adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT. Jalannya adalah dengan tirakat, yaitu meninggalkan segala sesuatu yang bersifat hawa nafsu keduniawian. Adapun kesaktian yang kita inginkan itu berupa hadiah yang diberikan oleh Allah SWT kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Kita tidak bisa memaksakan kesaktian jika Allah tidak menghendakinya kepada kita.
Dilansir dari NU Online, kesaktian atau biasa disebut karomah itu diberikan oleh Allah kepada para wali dengan tujuan sebagai penguatan iman bagi masyarakat awam. Seperti halnya pada zaman para Nabi yang dikaruniai mukjizat sebagai bukti adanya Allah SWT sehingga umatnya akan senantiasa percaya. Nah, karena semakin kesini kita semakin jauh dengan zaman para Nabi, maka diciptakanlah karomah sebagai pengganti mukjizat tersebut.
Namun, kita tidak perlu berkecil hati jika ternyata tirakat kita tidak mendatangkan karomah. Selama kita bisa menjalankan ritual tirakat itu dengan istiqomah (konsisten) maka keistiqomahan kita sudah bisa disebut sebagai karomah. Ada pepatah Arab mengatakan:
اَلْإِسْـتِقَـامَةِ خَيْرٌ مِـنْ اَلْفِ كَــرَامَةٍ # ثُبُــوْتُ الْكـَـرَامَةِ بـِدَوَامِ الْإِسْـتِقـَـامَةِ