Gerbong Tiga, Kursi 14A

Daftar Isi

“Gerbong Tiga, Kursi 14A”

Aku tidak pernah percaya pada cinta pandangan pertama. Rasanya terlalu sinetron, terlalu dijual di rak novel murah yang dipajang di stasiun. Tapi hari itu, di perjalanan dari Bandung ke Yogyakarta, aku mulai mempertimbangkan untuk sedikit, hanya sedikit, mengubah pendapat.

Kereta berangkat pukul 07.40, dan aku duduk di kursi 14A—samping jendela, seperti biasa. Aku suka melihat dunia berlari mundur saat kereta melaju. Rasanya seperti sedang meninggalkan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah aku genggam.

Tepat saat kereta mulai bergerak pelan, seseorang duduk di kursi sebelahku. Seorang perempuan, dengan rambut yang dikuncir asal-asalan, membawa ransel yang lebih besar dari badannya. Dia meminta izin menyimpan ranselnya di rak atas, dan aku otomatis berdiri untuk membantunya. Ranselnya berat, entah berisi pakaian atau kehidupan.

“Terima kasih, Mas,” katanya pelan. Sopan tapi tidak dibuat-buat.

Aku hanya mengangguk. Biasanya aku tak suka mengobrol di perjalanan. Tapi dia membuka novel di pangkuannya—Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam, dan aku langsung ingin bertanya kenapa dia memilih buku itu. Tapi kutahan.

Sekitar tiga puluh menit setelah keberangkatan, dia membuka bekal: nasi kepal dan telur dadar tipis. Wangi bawang putih menari pelan di udara.

“Mau?” katanya, tanpa menoleh. Seperti sudah tahu aku sedang melirik diam-diam sejak tadi.

Aku kaget. “Boleh?”
Dia mengangguk.

Dan seperti itu saja, percakapan kami dimulai. Ringan, acak, dan lambat. Tentang mengapa dia naik kereta dan bukan pesawat. Tentang kota yang katanya membuatnya sesak. Tentang pekerjaannya yang ia benci tapi ia butuhkan. Tentang laki-laki yang pernah membuatnya berhenti membaca selama enam bulan.

Namanya Sekar. Cantik, tapi bukan yang bikin silau. Lebih seperti warna senja yang pelan-pelan turun, tahu caranya masuk ke ruang sunyi di kepala seseorang.

“Aku selalu merasa perjalanan panjang itu seperti ruang tunggu antara dua versi diriku,” katanya sambil menatap jendela. “Versi yang aku tinggalkan dan versi yang belum tahu mau jadi apa.”

Aku tak menjawab. Tak perlu. Kadang diam adalah bentuk pengakuan paling jujur.

Menjelang Magelang, dia tertidur. Kepalanya jatuh pelan ke bahuku. Aku nyaris tak berani bernapas.

Entah kenapa aku tak ingin perjalanan ini sampai tujuan. Aku ingin terus di gerbong tiga, kursi 14A dan 14B. Bersama perempuan asing yang suka buku-buku sunyi dan membagi nasi kepal kepada orang asing seperti aku.

Tapi kereta, seperti hidup, tak pernah berhenti hanya karena kita belum siap berpisah.

Sampai Yogyakarta pukul 14.10. Dia bangun beberapa menit sebelum stasiun akhir. Kami berdiri bersama, mengambil barang, dan berjalan perlahan ke pintu keluar.

Sebelum turun, dia menoleh, menatapku sebentar, lalu berkata:

“Kalau suatu hari nanti kita ketemu lagi, semoga masih di perjalanan.”

Lalu dia hilang di antara manusia lain, seperti sebuah cerita yang tak punya bab dua. Tapi meninggalkan cukup banyak kalimat untuk disimpan.

3 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Episode 1: Pelajar yang Beda Sendiri Dari kecil, Raka selalu dianggap aneh. Saat teman-temannya sibuk ngumpulin kartu bola dan main

“Gerbong Tiga, Kursi 14A” Aku tidak pernah percaya pada cinta pandangan pertama. Rasanya terlalu sinetron, terlalu dijual di rak novel

Di Bawah Pohon Mahoni Aku duduk di bawah pohon mahoni, seperti biasa. Bangku semen yang dingin itu sudah jadi saksi

Kebahagiaan adalah salah satu tujuan hidup yang paling didambakan oleh manusia. Dalam perspektif Islam, kebahagiaan tidak hanya terbatas pada kebahagiaan

Ada saja santri yang ketika diberikan ijazah tirakat oleh gurunya mereka sangat bersemangat dikarenakan konon katanya tirakat itu bisa mendatangkan
Suatu hari, Raja Harun Al-Rasyid ingin menguji kecerdikan Abu Nawas. Raja memanggil Abu Nawas ke istana dan berkata, ........
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x