Di Bawah Pohon Mahoni
Aku duduk di bawah pohon mahoni, seperti biasa. Bangku semen yang dingin itu sudah jadi saksi diam tiap pagi yang kuhabiskan sebelum kelas. Hari ini tak ada yang istimewa, kecuali matahari yang sedikit lebih tajam menusuk kulit, dan kopi yang tadi kubeli terlalu manis.
Di sebelahku, ada kursi kosong. Biasanya tidak, tapi hari ini iya.
“Lo kenapa diem aja?” tanya suara dari belakang, dan aku tahu siapa pemiliknya tanpa harus menoleh.
Fajar duduk tanpa permisi. Rambutnya masih acak-acakan, tas selempang kain itu digeletakkan begitu saja di tanah.
“Gak kenapa-kenapa,” jawabku pendek.
“Lo pasti mikirin yang kemarin ya? Yang lo bilang lo gagal total presentasi itu?”
Aku tidak menjawab. Sebenarnya, bukan cuma soal presentasi. Semuanya terasa seperti menumpuk—tugas yang tak selesai, uang kos yang makin menipis, rasa ragu yang makin pekat tiap kali kuingat kenapa aku memilih jurusan ini.
Fajar mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebatang coklat.
“Gue punya ini. Gak bisa menyelesaikan masalah lo sih, tapi manisnya bisa bantu lo diem sebentar,” katanya, menawarkannya padaku.
Aku mengambilnya. Rasanya lumer pelan di lidah, sedikit lengket, tapi ada kehangatan di sana. Kami diam cukup lama. Tak ada kelas yang perlu kami buru pagi ini.
“Lo pernah ngerasa salah jurusan gak, Jar?” tanyaku akhirnya.
Dia mendongak, menatap daun-daun mahoni yang bergoyang pelan diterpa angin.
“Pernah. Tapi gue pikir, mungkin bukan jurusannya yang salah. Mungkin ekspektasi gue yang ketinggian.”
Aku mengangguk pelan. Mungkin benar. Mungkin aku terlalu sibuk ingin jadi ‘seseorang’, sampai lupa kalau prosesnya juga bagian dari cerita itu.
Ketika bel tanda kuliah berbunyi dari gedung sebelah, kami belum bergerak. Dunia bisa menunggu sebentar.
Kelas yang Tidak Pernah Dimulai
Hari itu kami tidak jadi masuk kelas. Kami hanya duduk di bawah pohon mahoni sampai jam kuliah lewat, lalu lewat lebih jauh lagi. Tak ada yang menegur, tak ada yang mencatat absensi. Seakan dunia kampus ikut memilih diam, membiarkan kami jeda sebentar dari kejaran waktu.
Malamnya, aku pulang ke kosan dengan kepala yang sedikit lebih ringan. Tapi begitu pintu kututup, keheningan yang tinggal bukan lagi keheningan tenang. Melainkan yang menggantung di udara, mengendap-endap, mengingatkanku pada hal-hal yang belum selesai.
Di meja, kertas proposal tugas akhir tergeletak. Ada coretan tinta merah dari dosen pembimbingku:
“Tujuan penelitian masih kabur. Harap lebih konkret dan relevan dengan pembahasan.”
Kubaca ulang dua kali, lalu kulempar ke tempat tidur. Aku menatap langit-langit, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, aku benar-benar bertanya pada diri sendiri:
Aku ini sebenarnya sedang mau ke mana?
Jam di dinding berdetak pelan. Aku teringat kalimat Fajar tadi siang, soal ekspektasi yang terlalu tinggi. Tapi kalau ekspektasi itu tidak ada, lalu apa yang tersisa? Apa aku cukup kuat kalau ternyata aku biasa-biasa saja?
Keesokan harinya aku tetap datang ke kampus, tapi tidak masuk kelas. Aku pergi ke perpustakaan lama, yang ada di gedung F—tempat yang sepi dan sering dilupakan. Di sana, aku membaca buku yang tidak ada hubungannya dengan kuliahku: kumpulan cerpen Ayu Utami, satu novel Haruki Murakami, dan sebuah buku tipis tentang filsafat eksistensial.
🔥🔥🔥